Pemilu 2009 sebentar lagi, refleksi dinamika politik selama tahun 2007 dan prediksi politik tahun 2008 kiranya akan memberikan gambaran awal mengenai situasi politik Indonesia di masa mendatang.
Dinamika Politik Indonesia 2007 dan Prediksi Politik 2008
Aditya Batara Gunawan
Fenomena Politik Sepanjang Tahun 2007 di Indonesia
Sepanjang tahun 2007, dinamika politik yang terjadi sebagian besar berada di daerah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di daerah. Berikut ini gambaran mengenai proses pilkada yang dilaksanakan selama tahun 2007 di Indonesia,
Tabel I.1. Pilkada Tahun 2007
Propinsi
|
Pemenang Pilkada
|
Jumlah Suara
|
Asal Partai/Koalisi Partai
|
Keterangan
|
Bangka Belitung
|
Eko Maulana Ali, MSc-
Syamsudin Basari
|
180.641
|
Partai Bulan Bintang,
Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat.
|
Sudah dilantik
|
DKI Jakarta
|
Fauzi Bowo -Prijanto
|
2.109.511
|
Koalisi 19 Partai Politik
|
Sudah dilantik
|
Maluku Utara
|
Thayb Armayn- KH Abdul Gani Kasuba (versi KPUD Malut)
Dr. H. Abdul Gafur-Abdul Rahim Fabanyo (versi KPU pusat)
|
-
|
Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang.
Partai Golkar, Partai Demokrasi Kebangsaan dan Partai Amanat Nasional
|
Masih menunggu hasil sidang MA untuk sementara posisi Gubernur diisi oleh pjs dari Depdagri
|
Sulawesi Selatan
|
Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`mang
|
1.432.572
|
PDI Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrasi Kebangsaan, dan Partai Damai Sejahtera.
|
Masih menunggu hasil sidang PK terhadap Fatwa MA untuk pilkada ulang di 4 kabupaten; untuk sementara posisi Gubernur diisi oleh pjs dari Depdagri
|
Kalimantan Barat
|
Cornelis-Christiandy Sanjaya
|
930.679
|
PDI Perjuangan
|
Sudah dilantik
|
Data: Diolah dari berbagai sumber
Tidak dapat dihindari bahwa pelaksanaan pilkada selama tahun 2007 telah menarik isu-isu lokal menjadi sorotan publik secara nasional. Sepanjang tahun 2007, dari tabel diatas tercatat ada 3 pilkada yang mendapat sorotan secara nasional, yakni Pilkada DKI Jakarta, Pilkada Maluku Utara dan Pilkada Sulawesi Selatan yang kemudian menimbulkan dua fenomena politik menarik sebagai implikasi dari proses desentralisasi demokrasi di Indonesia.
Suara Apatis di Pilkada: Kasus Pilkada DKI Jakarta
Pilkada DKI Jakarta menjadi menarik karena DKI Jakarta adalah pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia yang menjadi cerminan bagi propinsi lainnya. Selain itu, sebagian besar pemilih di Jakarta adalah pemilih rasional. Pemenang dalam Pilkada DKI Jakarta memiliki tanggung jawab besar dalam membangun Ibukota negara yang seringkali dianggap sebagai pusat dari permasalahan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keamanan.
Permasalahan seperti angka kemiskinan dan kriminalitas yang tinggi, banjir, dan buruknya sarana transportasi menjadi pekerjaan rumah terberat bagi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru. Setelah melalui proses pilkada yang berliku, akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta menetapkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Fauzi Bowo-Prijanto sebagai pemenang pada Pemilu kepala daerah DKI Jakarta 2007 dengan perolehan 2.109.511 suara. Pasangan calon Fauzi Bowo-Prijanto memperoleh 57,87 persen suara, sedangkan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar memperoleh 42,13 persen suara setara dengan 1.535.555 suara.
Dari hasil rekapitulasi perolehan suara di enam wilayah pemilihan, pasangan Fauzi Bowo Prijanto memenangi enam wilayah pemilihan tersebut. Untuk Jakarta Pusat Fauzi Bowo memperoleh 56,04 persen atau 234.144 suara, sedangkan Adang memperoleh 43,96 persen atau 183.679 suara. Untuk Jakarta Timur Fauzi memperoleh 56,78 persen atau 611.788 suara, sedangkan Adang 465.750 suara setara dengan 43,22 persen. Jakarta Selatan Fauzi mendapat 460.380 suara atau 57,40 persen, sementara Adang 341.667 suara atau 42,60 persen. Di Jakarta Barat Fauzi memperoleh 475.894 suara atau 60,94 persen, sementara Adang 304.983 suara atau 39,06 persen.
Demikian juga di Jakarta Utara, Fauzi meraih 57,56 persen yaitu 319.506, sedangkan Adang 42,44 persen setara 235.616 suara. Di Kepulauan Seribu, Fauzi meraup 66,89 persen atau 7.799 suara sedangkan Adang 33,11 persen atau 3.860 suara. Tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada ini sebesar 65,41 persen, yaitu dari warga yang terdaftar sebagai pemilih 5,7 juta orang, sebanyak 3,7 juta orang di antaranya melaksanakan hak pilihnya, sedangkan sisanya tidak datang pada saat pemilihan. Kemenangan tipis Fauzi Bowo-Prijanto sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta atas pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar untuk periode 2007-2012 ini setidaknya mencerminkan adanya kompetisi politik yang ketat.
Pada masa kampanye, telah diprediksi bahwa kedua pasangan calon hampir memiliki target yang sama yaitu membangkitkan kesadaran memilih warga DKI Jakarta yang dikenal lebih rasional dibandingkan daerah lain dan cenderung apatis. Fenomena ini tentunya akan sangat mempengaruhi jumlah suara pada Pemilu 2009 mendatang.
Kemudian, seiring dengan sistem pemilihan langsung yang sangat menuntut peran aktif masyarakat dalam memilih calon legislatif atau presidennya, bukan tidak mungkin akan lebih banyak suara-suara apatis selain di wilayah DKI Jakarta, karena merosotnya kepercayaan publik terhadap kinerja partai politik yang dianggap tidak memuaskan dalam menyalurkan aspirasi politik dan memperjuangkan perbaikan nasib rakyat, serta isu politik uang yang seringkali melanda parpol, terutama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada): Kasus Pilkada Maluku Utara dan Pilkada Sulawesi Selatan
Ada dua kasus pilkada sepanjang tahun 2007 yang berujung pada sengketa dan aksi anarkis yaitu Pilkada Maluku Utara dan Pilkada Sulawesi Selatan.
Pilkada Maluku Utara: Potensi Konflik dalam Pilkada
Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara (KPUD Malut) pada tanggal 16 November 2007 menetapkan pemenang pilkada gubernur di provinsi baru itu setelah mengalami penundaan akibat deadlock dalam rapat pleno penetapan pemenang. Pasangan Thayb Armayn dan KH Abdul Gani Kasuba menang tipis atas rival terdekatnya, Abdul Gafur-Abdurrahmin Fabanyo, dengan selisih hanya 963 suara atau 0,18 persen suara sah. Dari 569.620 pemilih, terdapat 479.277 suara sah. Thayb-Kasuba yang diusung Partai Demokrat, PKS, dan PBB, memperoleh 37,35 persen atau 179.020 suara. Gafur-Fabanyo yang dicalonkan oleh Partai Golkar dan PAN di urutan kedua dengan 37,17 persen atau 178.157 suara. Disusul pasangan Antoni Charles Sunarjo dan HM Drakel dengan 76.117 suara atau 15,88 persen, kemudian urutan terakhir pasangan Irvan Eddison dan Atik Achmad dengan 45.983 suara atau 9,59 persen.
Setelah itu, KPU (Komisi Pemilihan Umum) pusat meminta KPUD Maluku Utara untuk memberikan penjelasan mengenai terjadinya penundaan akibat deadlock dalam rapat pleno penetapan pemenang Pilkada Maluku Utara. Dalam sidang pleno yang digelar oleh KPU pusat tersebut, dibahas permasalahan mendasar seputar hasil perhitungan suara di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat yang ditemukan kejanggalan. Akhirnya, KPU pusat kemudian menonaktifkan KPUD Maluku Utara dan mengambil alih proses perhitungan suara. Setelah tiga hari melakukan rekapitulasi penghitungan suara Pilkada Maluku Utara (Malut), pada 22 November 2007, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menyatakan pasangan Abdul Ghafur dan Aburahim Fabanyo memenangkan pilkada di provinsi tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengan hasil rapat pleno KPUD Malut sebelumnya yang menyatakan pasangan Thaib Armaiyn dan Abdul Gani Kasuba sebagai pemenangnya.
Menanggapi keputusan dari KPU Pusat tersebut, KPUD Provinsi Malut kemudian menyerahkan penyelesaian sengketa pilkada Malut ke MA. Sengketa Pilkada Malut yang berlarut-larut ini kemudian memaksa pemerintah untuk menunjuk seorang caretaker Gubernur Maluku Utara dari instansi Departemen Dalam Negeri apabila belum ada kejelasan soal hasil Pilkada Maluku Utara tersebut secara konstitusional. Akhirnya, pada bulan Januari 2008, Mahkamah Agung membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengambil alih rekapitulasi penghitungan suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Maluku Utara (Malut). MA juga membatalkan surat keputusan KPU yang menetapkan Abdul Gafur dan AR Fabanyo sebagai gubernur dan wakil gubernur Malut terpilih periode 2007-2012.
Mahkamah Agung menyatakan langkah KPU yang mengambil alih rekapitulasi penghitungan suara dari KPU Provinsi Malut tidak dapat dibenarkan secara yuridis. Pada awalnya KPU mengambil alih tahapan penghitungan suara di KPU Malut dengan bersandar pada Pasal 122 Ayat (3) UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dari pengambilalihan itu, KPU mengeluarkan SK No 27/15-BA/11/2007 tanggal 22 November 2007 tentang Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara yang memenangkan pasangan Abdul Gafur-AR Fabanyo dengan 181.889 suara, sedangkan Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba memperolah 179.020 suara.
KPU kemudian menetapkan Gafur-Fabanyo sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih lewat SK No 158/SK/KPU/2007 tanggal 26 November 2007. Sebelumnya, melalui SK No 20/SK/PGWG/2007 tanggal 16 November 2007, KPU Malut memenangkan Thaib-Kasuba dengan 179.020 suara, sedangkan Gafur-Fabanyo 178.157 suara. Majelis Hakim MA memutuskan tidak sepakat dengan penilaian KPU yang berpendapat KPU Malut tak bisa melaksanakan tugasnya. Keputusan MA ini ditanggapi oleh KPU dengan rencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas keputusan MA yang realisasinya masih belum jelas hingga sekarang. Meskipun dalam sengketa Pilkada Maluku Utara tidak ada aksi protes yang anarkis dan desktruktif, namun kasus sengketa Pilkada Maluku Utara ini masih sangat berpotensi untuk menjadi konflik kekerasan yang berbahaya mengingat lamanya proses penyelesaian sengketa.
Pilkada Sulawesi Selatan: Anarkisme dalam Pilkada
Pada pilkada Sulsel 5 November 2007, Komisi Pemilihan Umum Daerah Sulawesi Selatan (KPUD Sulsel) memutuskan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`mang memperoleh suara paling besar disusul pasangan Amin Syam dan Mansyur Ramly. Atas putusan itu, kemudian pasangan Amin-Mansyur menggugat keputusan KPUD Sulsel dengan dugaan ada penggelembungan suara di tiga kabupaten. Selanjutnya MA memutuskan untuk diadakan pilkada ulang di empat kabupaten yakni Gowa, Bone, Bantaeng, dan Tana Toraja. Konflik pilkada tersebut makin meluas, terlebih ada sebagian pihak yang menginginkan pelantikan gubernur dan wakil gubernur segera dilakukan, mengingat mulai 19 Januari 2008 kursi kepala daerah Sulsel harus mulai diisi.
Hingga saat ini permasalahan sengketa hasil pilkada Sulawesi Selatan masih belum selesai. Pada 18 Desember 2007, Majelis Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin Paulus Effendi Lotulung memutuskan mengabulkan permohonan subsider pemohon keberatan kasus pilkada Sulawesi Selatan 2007, yakni pasangan Amin-Mansyur. Majelis hakim juga memerintahkan agar KPUD Sulsel melakukan pemilihan ulang di empat kabupaten selambat-lambatnya 3-6 bulan sejak putusan dibacakan. Dalam putusannya, majelis hakim agung menyatakan memang ada fakta-fakta yang menunjukkan masalah dalam pengitungan suara di empat kabupaten. Kabupaten itu antara lain Goa, Bone, Bantaeng, dan Tana Toraja, selain itu Mahkamah Agung sendiri memutuskan bahwa pelantikan terhadap pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`mang pada bulan November 2007 adalah melanggar hukum.
Keputusan MA ini kemudian memancing aksi protes yang anarkis dari para pendukung pasangan gubernur terpilih Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang. Pada Tanggal 16 Januari 2008, sekitar 2000 orang massa pendukung pasangan gubernur terpilih Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mangg dalam pilkada 5 November 2007 melakukan aksi protes dengan menyegel kantor Gubernur Sulsel. Sebelumnya, pada hari yang sama, sekitar 50 orang perwakilan dari massa pendukung Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang mengintimidasi sekretaris pemerintah propinsi Sulsel yang menjadi pejabat gubernur, HA Muallim untuk menandatangani pernyataan sikap kepada Depdagri yang isinya, pertama, meminta agar Sekprov menyatakan menolak pelaksanaan Pilkada Ulang; kedua, menolak kehadiran caretaker; dan ketiga, meminta Mendagri melantik pasangan gubernur yang terpilih oleh rakyat Sulsel sesuai jadwal KPU yakni 19 Januari.
Aksi protes yang anarkis ini sendiri tidak hanya berlangsung di Sulawesi Selatan, namun juga di Jakarta, pada Jumat, 18 Januari 2008, Sekitar 500 orang lebih yang mengaku dari Forum Peduli Demokrasi untuk Sulawesi Selatan melakukan unjuk rasa di Departemen Dalam Negeri Jakarta, mereka menyatakan penolakan mereka mengenai rencana pelantikan "caretaker" (pejabat sementara) Gubernur Sulsel dan meminta agar gubernur terpilih dalam pilkada 5 November 2007, Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang, segera dilantik. Unjuk rasa ini kemudian juga diwarnai oleh aksi anarkis dengan membakar sebuah sepeda motor dan ban bekas.
Pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`mang kemudian mencoba mencari dukungan dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk mengajukan PK (Peninjauan Kembali) terhadap putusan MA. Beberapa anggota KPU kemudian mendukung usaha pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mangg tersebut karena berdasarkan aturan Undang-Undang tidak dikenal terminologi pilkada ulang melainkan sekadar penghitungan suara atau pemungutan suara ulang, seperti diatur dalam pasal 105 UU Pemerintah Daerah.
Namun KPU tidak punya kewenangan untuk mengambil alih kasus itu atau berkonfrontasi dengan MA. Apa yang bisa dilakukan KPU hanyalah sebatas dukungan advokasi atau supervisi dan itu pun baru bisa dilakukan setelah mereka (KPUD Sulsel) meminta dukungan dari KPU. Pemerintah sendiri menanggapi putusan MA tersebut dengan menunjuk Mayor Jenderal TNI Tanribali Lamo yang merupakan Asisten Personalia Kepala Staf Angkatan Darat sebagai penjabat sementara (care taker) Gubernur.
Keputusan pemerintah yang menunjuk seorang perwira aktif sebagai penjabat Gubernur merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang TNI yang melarang perwira aktif menduduki posisi sebagai eksekutif. Bahkan walaupun perwira tersebut mengundurkan diri pada saat ia dilantik sebagai Gubernur, tetap merupakan suatu keputusan politik yang tidak “fair” dan mengancam demokrasi. Karena akan membawa sebuah anggapan umum untuk “menyelesaikan” setiap kemelut politik dengan menempatkan perwira militer aktif untuk mengisi jabatan tersebut, lantas menjelang pelantikannya sebagai eksekutif, baru ia “mengundurkan” diri dari dinas militer.
Peta Kekuatan Politik Menjelang Pemilu 2009
Pilkada 2008 Sebagai Modal Awal Pemilu 2009
Berdasarkan catatan KPU (Komisi Pemilihan Umum), pada tahun 2008 akan dilaksanakan 139 pilkada di berbagai tingkat wilayah (propinsi hingga kabupaten/kota) di Indonesia sebelum dilaksanakannya Pemilu 2009. Pilkada 2008 menjadi istimewa karena akan dilaksanakan sebanyak 4 pilkada setingkat propinsi yang memiliki jumlah kantong suara besar.
Keempat wilayah tersebut adalah, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain itu ada dua propinsi lain yang juga akan melaksanakan Pilkada di tahun 2008, yakni Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur dan Maluku. Berikut ini rekapitulasi jadwal dan jumlah suara pemilih pada Pilkada 2008,
Tabel I.2. Jadwal dan Jumlah Suara Pemilih
dalam Pilkada 2008
No
|
Propinsi
|
Perkiraan Jadwal Pilkada 2008
|
Jumlah Pemilih*
|
1
|
Sumatera Utara
|
Juni-Juli 2008
|
7,9 juta
|
2
|
Riau
|
Oktober 2008
|
2,9 juta
|
3
|
Sumatera Selatan
|
Juni 2008
|
4,4 juta
|
4
|
Lampung
|
Januari 2008
|
4,7 juta
|
5
|
Jawa Barat
|
Mei 2008
|
26,4 juta
|
6
|
Jawa Tengah
|
Juni 2008
|
23,1 juta
|
7
|
DI Yogyakarta
|
Mei 2008
|
2,5 juta
|
8
|
Jawa Timur
|
Juli 2008
|
26,9 juta
|
9
|
Bali
|
Februari-Maret 2008
|
2,5 juta
|
10
|
Nusa Tenggara Barat
|
Juni-Agustus 2008
|
2,7 juta
|
11
|
Nusa Tenggara Timur
|
Juli 2008
|
2,5 juta
|
12
|
Kalimantan Timur
|
April-Mei 2008
|
2,0 juta
|
13
|
Maluku
|
Mei-Juni 2008
|
0,8 juta
|
Total suara
|
109,3 juta
|
Data: Diolah dari berbagai sumber
*Data jumlah pemilih terdaftar dalam Pemilu 2004
Pada pemilu 2004, jumlah total suara yang sah pada putaran pertama Pemilihan Presiden adalah sebanyak 118.656.868. Dengan demikian, jumlah suara yang diperebutkan dalam Pilkada 2008 (lihat tabel diatas) bisa dikatakan akan merepresentasikan 92,6 % suara pemilih yang potensial dalam pemilu 2009 mendatang. Selain itu, daerah-daerah berkantong suara besar dalam Pilkada 2008, seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur setidaknya akan merepresentasikan 71,4 % suara.
Jumlah suara yang diperebutkan dalam Pilkada 2008 tentunya sangat menarik perhatian partai-partai politik di Indonesia karena dengan menguasai perolehan suara di 4 daerah berkantong besar (Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur), mereka setidaknya mendapatkan sekitar 40-70% suara sebagai modal utama untuk menghadapi Pemilu 2009. Menjelang pemilihan umum 2009, beberapa partai politik di Indonesia juga telah melakukan serangkaian strategi dan menetapkan target perolehan suara parpol, berikut ini target perolehan beberapa partai politik di Indonesia untuk Pemilu 2009
Tabel I.3. Target Perolehan Suara Parpol di Indonesia
untuk Pemilu 2009
No
|
Partai
|
Jumlah Suara (juta)
|
Jumlah Kursi
|
Persentase 2004
|
Target 2009
|
1
|
Partai Golongan Karya
|
24, 480, 757
|
128
|
21,58%
|
30%
|
2
|
PDIP
|
21, 026, 629
|
109
|
18, 53%
|
30%
|
3
|
Partai Kebangkitan Bangsa
|
11, 989, 564
|
52
|
10, 57%
|
20%
|
4
|
Partai Demokrat
|
8, 455, 225
|
57
|
7,45%
|
15%
|
5
|
Partai Amanat Nasional
|
7, 303, 324
|
52
|
6,44%
|
15%
|
Sumber: Harian Kontan, Jumat, 28 Desember 2007
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa 2 partai terbesar di Indonesia yakni Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mentargetkan perolehan suara yang sama yakni 30%. Target perolehan suara ini adalah sesuatu yang realistis, mengingat kedua partai besar tersebut memiliki jumlah pendukung dan kader terbanyak dibanding partai lainnya.
Koalisi sebagai Strategi Menjelang Pemilu 2009
Target perolehan suara 2 partai besar di Indonesia tersebut secara tidak langsung juga memberikan sinyalemen akan adanya koalisi antara kedua partai besar tersebut. Pada Pemilu 2004, kedua partai ini mendapatkan suara sebanyak 237 kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) atau sekitar 43, 5%.
Pada bulan Juni 2007, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, Surya Paloh dan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, Taufiq Kiemas melakukan pertemuan di Hotel Tiara Medan yang kemudian dikenal sebagai ‘Silaturahmi Medan’. Dalam pertemuan ini kedua petinggi partai tersebut sama-sama menyatakan perlunya ada koalisi antara Partai Golkar dan PDIP untuk mendapatkan minimal 60% suara dalam Pemilu 2009 mendatang. Namun, kedua petinggi tersebut juga menyatakan bahwa Silaturahmi Medan tersebut bukanlah sebuah benih koalisi antara kedua partai menjelang Pemilu 2009, namun lebih kepada penyamaan persepsi terkait dengan paket Rancangan Undang Undang (RUU) Politik yang sedang dibahas agar dapat membatasi jumlah calon presiden dan meningkatkan electoral threshold. Silaturahmi Medan kemudian memancing reaksi dari partai-partai menengah dan kecil lainnya di DPR. Para politikus dari Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Damai Sejahtera, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat dan Partai Bintang Bulan melaksanakan pertemuan di Hotel Mulia Jakarta pada Juli 2007. Para politikus dari 8 partai di DPR ini kemudian sepakat untuk menghadang langkah Partai Golkar dan PDIP yang dinilai berusaha menutup peluang partai-partai menengah dan kecil untuk mendapatkan kursi di DPR dan mencalonkan presiden dalam Pemilu 2009. Hingga tulisan ini dibuat, paket RUU Politik yang baru belum disahkan. Apapun hasilnya, peluang koalisi antar partai politik di Indonesia masih terbuka lebar. Apalagi dalam konteks pemilihan presiden yang cenderung melahirkan kandidat-kandidat lintas partai atau bahkan non-partai, mau tidak mau partai politik yang ada harus berkoalisi jika menargetkan kemenangan bagi calon presiden pilihan mereka dan stabilitas dukungan terhadap pemerintah dimasa mendatang.
Peluang Incumbent Dalam Pemilu 2009
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat ini tengah menghadapi keterpurukan. Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) terhadap 1000 responden, tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden cenderung menurun sejak dilantiknya pemerintahan SBY-JK pada tahun 2004. Pada tahun pertama pemerintahan SBY-JK, sebanyak 8 dari 10 orang merasa puas atas kinerja Presiden. Kemudian pada tahun 2007, hanya sekitar 5 dari 10 orang yang merasa puas atas kinerja Presiden. Survei lainnya yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan bahwa dari 80% yang merasa puas atas kinerja Presiden merosot tajam hingga 35% yang merasa puas atas kinerja Presiden saat ini.
Kinerja para pembantu presiden, menteri dan pejabat negara setingkat menteri-menjadi salah satu penyebab utama buruknya persepsi publik terhadap kinerja pemerintahan SBY-JK saat ini. Berdasarkan survei LSI atas 1000 responden, dari 39 lembaga negara hanya satu lembaga yang dianggap baik oleh lebih dari 80% responden yakni TNI (Tentara Nasional Indonesia), kemudian 6 lembaga negara dianggap lumayan (sekitar 70% responden yang merasa puas) kinerjanya yakni Departemen Agama, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pertahanan, Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kemudian 20 lembaga negara seperti, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertanian, Departemen Kominfo, Kepolisian RI, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Sosial, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perdagangan, Departemen Luar Negeri, Departemen Perindustrian, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Bappenas, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Departemen Perhubungan, Kementerian Negara Koordinator Polhukam, Sekretariat Negara, dan Sekretariat Kabinet mendapatkan kategori buruk (hanya sekitar 60% responden yang merasa puas). Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara Perumahan Rakyat, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pekerjaan Umum, Menteri Negara BUMN, Departemen Kehutanan, Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Koordinator Bidang Ekuin mendapatkan kategori buruk sekali (hanya sekitar 50% responden menyatakan puas).
Walaupun hasil survei dari LSI tersebut belum dapat dikatakan sepenuhnya merepresentasikan rakyat Indonesia. Namun, setidaknya hasil survei tersebut turut memberikan gambaran nyata mengenai kondisi pemerintahan saat ini. Meningkatnya harga kebutuhan pokok dan bahan bakar, meningkatnya kemiskinan, menurunnya jumlah lapangan kerja, buruknya penanganan bencana dan masih adanya ketidakpastian hukum hanyalah beberapa contoh nyata dari kinerja buruk para pembantu presiden tersebut. Kinerja yang tidak memuaskan dari lembaga-lembaga negara yang vital seperti Departemen Keuangan, Kejaksaan Agung, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bappenas, Menko Kesejahteraan Rakyat, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara BUMN, Departemen Sosial dan Kepolisian RI merupakan sebuah bumerang bagi pemerintahan SBY-JK saat ini terutama menjelang Pemilu 2009. Pada tahun 2008, banyak pihak yang memprediksi bahwa kinerja pemerintahan akan semakin memburuk mengingat pecahnya konsentrasi pemerintahan sekarang (incumbent) dalam menghadapi Pemilu 2009. Sebagian besar pembantu presiden-terutama yang membawahi lembaga negara vital-diangkat berdasarkan sebuah tawar-menawar antar kekuatan politik yang ada, dan sangat sedikit yang mempertimbangkan aspek profesionalisme. Artinya, bukan tidak mungkin juga bahwa sebagian besar para pembantu presiden akan terseret dalam intervensi kepentingan partai politik yang mendukungnya menjelang Pemilu 2009. Sulitnya menjaga profesionalisme para menteri tentunya akan berdampak buruk pada peningkatan efektifitas dan efisiensi lembaga negara yang bersangkutan dalam menerapkan kebijakan dan melayani publik. Ditakutkan, pada tahun 2008, Presiden hanya akan menjadi ‘Superman’ bukannya membentuk sebuah ‘Superteam’ yang solid dan berkomitmen kuat terhadap peningkatan kualitas pemerintahan. Selain itu, sinyalemen manuver politik pribadi Jusuf Kalla pada Safari Ramadhan tahun 2007 turut memberikan spekulasi akan ambisi Jusuf Kalla untuk mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pemilu 2009 dan memburuknya hubungan SBY-JK.
Meskipun demikian, pemerintahan SBY-JK memiliki nilai tambah yang menjadi modal awal dalam menghadapi Pemilu 2009. Keuntungan sebagai incumbent yang memiliki akses media tinggi menjadi kekuatan tambahan bagi pemerintahan SBY-JK jika ingin tetap bertahan mencalonkan diri di Pemilu 2009. Selain itu, pemerintahan SBY-JK memiliki kesempatan tinggi untuk meningkatkan kinerja di tahun 2008 yang tentunya dapat menarik perhatian/simpati rakyat lebih besar dari kandidat-kandidat presiden lainnya yang berada diluar pemerintahan (oposisi).
Tahun 2008: Pemanasan Menjelang Pemilu 2009
Tahun 2008 dapat diprediksi sebagai tahun pemanasan menjelang Pemilu 2009, pilkada di sejumlah daerah berkantong suara besar, koalisi partai politik, kinerja pemerintahan SBY-JK, dan nominasi kandidat calon presiden akan menjadi isu-isu panas sepanjang tahun 2008. Mengenai Pilkada 2008, telah dibahas pada tulisan sebelumnya, bahwa Pilkada 2008 adalah sebuah ajang penambahan dukungan politik yang menjanjikan. Kemudian, kinerja pemerintahan SBY-JK pada tahun 2008 telah diprediksi sebagai ajang tarik-menarik kepentingan partai politik yang akan mempengaruhi kinerja pemerintahan dan sinyalemen manuver politik Jusuf Kalla yang tentunya juga dapat melahirkan koalisi-koalisi pendukunga atau oposisi.
Nominasi kandidat calon presiden kemungkinan besar akan menjadi isu yang paling panas sepanjang tahun 2008. Hasil Pilkada 2008, kinerja pemerintahan SBY-JK, dan koalisi partai politik kemungkinan besar akan memberikan tensi yang cukup tinggi mengenai nominasi calon presiden. Permasalahan mengenai nominasi calon presiden tidak hanya muncul dalam perspektif hubungan koalisi antar partai politik namun juga secara internal, khususnya juga mengenai daftar urut calon anggota legislatif. Ada beberapa nama yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia yang berpeluang menjadi kandidat calon presiden, yakni Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Din Syamsudin dan the incumbent yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kemudian ada satu lagi kandidat yang memproklamirkan dirinya siap jika dicalonkan sebagai presiden dalam Pemilu 2009, yakni mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Hanya Megawati Soekarnoputri, Wiranto dan Sutiyoso menyatakan kesiapannya untuk dicalonkan sebagai presiden dalam Pemilu 2009, namun tokoh-tokoh lainnya belum berkomentar serius soal pencalonan mereka dalam bursa pemilihan presiden pada pemilu 2009 mendatang. Pertarungan seru juga diprediksi akan terjadi dalam nominasi calon wakil presiden yang tentunya akan melibatkan manuver partai-partai menengah dan kecil untuk mendapatkan porsi di kursi pemerintahan selanjutnya.
Sudah menjadi sesuatu yang lazim ketika dalam pemilihan presiden secara langsung, maka aspek personal presiden terkadang lebih menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam menentukan pilihannya. Tampaknya wibawa dan pesona pribadi menjadi prasyarat utama agar seorang calon dapat dipertimbangkan menjadi presiden di Indonesia. Pada Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono adalah contoh dari fenomena ini. Berasal dari kalangan militer dan bukan kader partai politik, SBY sukses meraih simpati masyarakat Indonesia. Pesona dan wibawanya seakan-akan menjadi senjata andalan SBY dalam memenangkan pemilihan presiden tahun 2004 terlepas dari program-program kerja yang ditawarkan. Citra SBY dalam Pemilihan Presiden 2004 lahir dari konflik antara SBY yang saat itu menjabat sebagai Menko Polkam di Pemerintahan Presiden Megawati dan Taufiq Kiemas yang merupakan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, partai pendukung Megawati. Konflik tersebut secara tidak langsung menempatkan SBY sebagai ‘korban’ dan berhasil menarik simpati masyarakat Indonesia. Dengan demikian, secara umum diskursus mengenai calon presiden di Indonesia adalah sesuatu yang sangat bersifat kontekstual. Calon presiden yang berhasil memanfaatkan situasi politik yang ada dan berhasil menarik simpati masyarakat dalam bentuk apapun tentunya akan memiliki keunggulan dibandingkan calon lainnya.
Terlepas dari persoalan citra dan wibawa calon presiden yang baik, berdasarkan survei LSI menunjukkan bahwa 62% dari responden masyarakat Indonesia mengharapkan seorang pemimpin yang jujur, 24% mengharapkan presiden yang perhatian pada rakyat, 9% mengharapkan pemimpin yang mampu mengambil keputusan tegas, dan 5% mengharapkan pemimpin yang pintar. Dengan demikian ada sebuah kesadaran penting di masyarakat Indonesia bahwa kejujuran-sesuatu yang sangat diperoleh dalam dunia politik-adalah prasyarat utama dalam memilih seorang pemimpin negara.
Selain itu, sepanjang tahun 2007, muncul fenomena apatisme suara pemilih dan konflik dalam pilkada. Kedua fenomena ini adalah dua hal yang berpotensi terjadi dalam pilkada 2008, mengingat tahun 2008 akan dilaksanakan pilkada yang hampir bersamaan di beberapa wilayah yang memiliki potensi suara cukup besar. Apatisme pemilih mungkin tidak akan menjadi persoalan yang cukup mengganggu karena masih menunggu komitmen serius dari partai politik untuk mengartikulasikan aspirasi konstituennya secara optimal dan akuntabel, namun persoalan konflik pilkada yang anarkis dan berlarut-larut akan menjadi potensi gangguan keamanan yang sangat mengancam mengingat masing-masing partai politik akan membela habis-habisan pasangan calonnya dalam pilkada 2008 mendatang. Selain itu, belum adanya indikasi mengenai koalisi permanen antar partai tentunya akan semakin memperbesar fragmentasi politik di Indonesia, terutama di tingkat lokal.
|